Kesedihan, kemarahan, dan kekecewaan terhadap perlakuan Bu Risma-Menteri Sosial-terhadap anak Tuli yang dipaksa untuk berbicara tanpa diberi pilihan komunikasi dan bahkan ada video terbaru menunjukkan Bu Risma meminta perempuan Tuli untuk tidak menggunakan bahasa isyarat. Itu terjadi pada tanggal 1 Desember saat menjelang Hari Disabilitas Internasional akan digelar tanggal 3 Desember. Sampai sekarang, Bu Risma belum meminta maaf dan bahkan banyak membelanya.
Perlakuan Bu Risma terhadap peserta Tuli sungguh kejam dan tidak berperikemanusiaan. Mereka menunjukkan audisme atau supremasi orang dengar yang memandang rendah terhadap orang Tuli, ibaratnya sama dengan white supremacy atau supremasi orang kulit putih dianggap ras paling unggul dan memandang rendah ras lain yang bukan kulit putih, seperti orang kulit hitam, Asia, Latino, dan lain-lain. Orang Tuli diperlakuan tidak berdaya, bodoh, bisu, tidak bisa mandiri, tidak punya masa depan, dan harus mencapai standar orang dengar sebagai mayoritas, seperti harus bisa mendengar (dengan alat bantu dengar atau implan koklea) dan harus bisa bicara (dengan terapi wicara/ artikulasi). Orang Tuli perlu dikasihani dan dianggap sakit/ penyakit. Itu sungguh kejam dan berbahaya. Ada 90% anak Tuli lahir dari orangtua dengar yang tidak tahu bahasa isyarat dan budaya Tuli sehingga hal ini memengaruhi mental anak Tuli yang tidak sehat, misalnya anak Tuli mengalami frustasi, kecemasan, depresi, hingga kehilangan identitas diri. Bahkan ini dapat menyebabkan orang Tuli meninggal karena bunuh diri. Itu pernah terjadi. Banyak mengekang dan merampas kebebasan anak Tuli untuk tumbuh kembang dengan pendidikan bahasa isyarat yang baik dan sesuai. Hal ini mempertegas bahwa orang Tuli benar-benar tidak layak untuk hidup dan harus menjadi orang dengar sesuai standarnya. Itu menyedihkan dan berbahaya.
Mukjizat adalah kata ampuh untuk mengharapkan anak Tuli untuk dapat bicara dan mendengar. Itu adalah propaganda yang meracuni jutaan anak Tuli dipaksa dan tidak mendapatkan akses yang sama dengan anak dengar hidup dengan keistimewaan yang dimiliki. Tuhan memberi bahasa isyarat, kenapa kalian mengharapkan Tuhan memberi mukjizat agar bisa bicara dan dengar? Bukankah bahasa isyarat adalah anugerah dari Tuhan? Apakah bahasa isyarat tidak dianggap sebagai mukjizat? Padahal bahasa isyarat memiliki banyak manfaat yang tidak pernah ada di budaya dengar, salah satunya orang kehilangan pita suara masih dapat berbahasa isyarat, orang yang menyelam di laut pun bisa berbahasa isyarat, hingga bahasa isyarat dapat dipakai saat kondisi yang berisik atau bising.
Saya lahir orang Tuli mengalami banyak fase kehidupan yang dialami. Saya lah paling tahu apa saya rasakan. Kalian tidak usah sok tahu tentang Tuli. Mau komtal (komunikasi total), mau bicara-oral, mau ABD, mau apapun kalian menawari padaku, saya berhak untuk menolak dan memilih bahasa isyarat karena saya kan orang Tuli asli dan saya paling tahu apa saya rasakan. Saya pernah disiksa dan dipukul karena dilarang berbahasa isyarat dan mengalami terapi wicara yang berat. Jadi, ini adalah kebebasanku untuk memilih bahasa isyarat.
Kalau saya bicara oral, respon setiap orang dengar itu berbeda-beda. Jadi, saya agak frustasi karena harus bekerja keras untuk mencapai standar mereka apalagi mereka merespon berbeda-beda. Itu melelahkan dan memusingkan. Saya tidak suka dipuji karena bicara oralku bagus. Saya tidak suka dibanding-bandingkan dengan orang Tuli lain hanya karena kemampuan bicara oral, karena itu dapat menyebabkan hubungan pertemanan rusak dan putus (karena kecemburuan atas kemampuan bicara oral). Itu sangat traumatis dan tekanan batin agak menyakitkan. Oleh karena itu, saya menyesal dan ingin meminta maaf atas apa yang terjadi di masa lalu. Jadi, saya memilih bahasa isyarat agar saya dapat berharap supaya dapat memulihkan hubungan pertemanan yang rusak. Maafkan aku, ya dan saya bersalah.
Saya dulu tidak menyadari bahwa bahasa isyarat adalah sebuah bahasa sebelum tahun 2016. Saya berpikir bahwa saya harus mencapai dengan standar orang dengar agar bisa diterima oleh lingkungan. Saya bekerja keras untuk berbicara. Tapi, pada faktanya, saya tidak akan pernah mencapainya setelah saya bergabung dengan komunitas Tuli dan menyadari bahwa bahasa isyarat benar-benar membantu saya banyak hal, seperti saya memiliki kesempatan untuk bertemu dengan orang Tuli asing berasal dari Amerika Serikat, Australia, dan Inggris datang ke Indonesia dan yang mana mereka bekerja sebagai pengacara, psikolog, profesor, dokter, hingga menjadi tentara. Saya mulai belajar bahasa Inggris dengan penuh semangat karenanya padahal dulu saya membencinya dan beralih belajar bahasa Spanyol. Bahkan, saya mencoba belajar ASL (bahasa isyarat Amerika), BSL (bahasa isyarat Inggris), dan lain-lain. Mereka adalah panutan saya. Selain ini, saya bertemu dengan Surya Sahetapy, Laura Lesmana, Adhi Kusumo, hingga sahabat dekat yang mana menghabiskan bersamaku di sebuah rumah kecil di Kaliurang, Phieter Angdika. Mereka pernah menempuh studi di luar negeri. Dan, bahkan ada orang Tuli Indonesia lainnya pernah tinggal dan bekerja di luar negeri. Itu membuat saya merasa bahwa saya tidak sendiri lagi dan tidak lagi malu menjadi orang Tuli seperti dulu pernah malu siapa diriku. Saya kini percaya dengan impianku dan kebebasanku yang harus dimiliki dan diperjuangkan.
Keistimewaan orang dengar adalah kemudahan akses dan tidak memiliki masalah dalam hidupnya. Orang Tuli selalu punya masalah. Orang dengar memaksa orang Tuli agar mencapai standarnya, tapi orang Tuli sering tertolak atas berbagai kesempatan, seperti pendidikan, pekerjaan, hingga lingkungan, karena syarat yang diskriminatif, seperti harus menggunakan ABD dan lancar bicara oral.
Tapi, kadangkali saya harus memikirkan bagaimana jutaan anak Tuli lahir dari keluarga dengar. Apakah mereka akan meniru tindakan Bu Risma yang dianggap patut diteladani? Saya tidak tahu, tapi itu akan pasti. Akan lebih banyak anak Tuli menderita sama seperti saya alami. Tidak ada bahasa isyarat, maka emosi dan mental anak Tuli tidak sehat dan terus memburuk. Itu tidak bagus tapi akan terjadi.
Jadi, apa yang diharapkan? Hanya saya mengetahui bahwa Bu Risma harus meminta maaf dan bertanggungjawab penuh atas tindakannya di depan jutaan orang Tuli yang menontonnya baik tinggal di Indonesia maupun di luar negeri. Tindakan Bu Risma jelas melanggar UU No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan ratifikasi CRPD/ Konvensi Penyandang Disabilitas tentang hak Tuli. Bu Risma harus duduk bersama dengan perwakilan komunitas Tuli. Itu saja yang saya harapkan. Akuilah bahasa isyarat Indonesia (BISINDO) dan masukkan Bisindo di kurikulum sekolah umum yang bersifat wajib diajari di semua sekolah baik sekolah inklusi maupun bukan sekolah inklusi.
Dan, terakhir, saya bangga Tuli yang menggunakan bahasa isyarat. Titik. Selesai. Tidak lagi!
Terimakasih.
Comments