Sejak Juni 2016, saya bergabung bersama Gerkatin (Gerakan untuk Kesejahteraan Tuli Indonesia), saya telah melalui banyak hal. Ada sesuatu yang berhasil, ada yang gagal, dan ada juga masih terus berjalan. Kebahagiaan dan kesulitan selalu ada di setiap perjalanan saya sebagai anggota Gerkatin dan juga orang Tuli.
Kendala terbesar adalah mis komunikasi. Komunikasi adalah proses interaksi sosial antar manusia untuk memenuhi kebutuhan sosial. Manusia tidak dapat hidup sendiri tetapi manusia membutuhkan kontak sosial untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, komunikasi menjadi hal wajib dan paling sering digunakan di kehidupan sehari-hari. Bentuk komunikasi itu beragam dan bervariasi. Ada melalui lisan dan ada melalui digital.
Orang Tuli secara alami berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Bahasa isyarat adalah bahasa dan budaya yang biasa digunakan oleh komunitas Tuli untuk mengekpresikan budaya dan bahasa. Bahasa isyarat tentunya memiliki stereotipe dan stigma tersendiri yang berkembang di masyarakat. Berikut ini, streotipe dan stigma bahasa isyarat sebagai berikut:
1. Bahasa isyarat adalah bahasa Tarzan
2. Bahasa isyarat adalah bahasa kode-kodean
3. Bahasa isyarat kerap dijadikan sebagai prank dan dianggap tik-tok
4. Bahasa isyarat dapat membuat orang Tuli tidak bisa berbicara secara oral
5. Semua orang dengar tidak bisa bahasa isyarat
6. Dan banyak sekali
Kesan dan pandangan negatif tentang bahasa isyarat rupa terus dipercayai oleh banyak masyarakat awam secara turun-menurun. Saya tidak tahu darimana bermula stigma itu. Tetapi, saya merasa kecewa dengan sikap masyarakat awam masih terus mempercayai streotipe negatif tersebut. Saat saya bersekolah di SLB Don Bosco Wonosobo, seorang guru menjawab pertanyaanku. Dia menjawab,"Rak, semua orang dengar tidak bisa bahasa isyarat. Jadi, harus berbicara oral yang jelas dan bersuara ya." Itu kalimat membuatku seakan-akan percaya kala itu tetapi kepercayaanku terhadap jawaban guru itu sudah mulai luntur bahkan sudah tidak percaya lagi karena saya telah melihat banyak orang dengar mau belajar bahasa isyarat dan sukses menjadi juru bahasa isyarat yang menjurusbahasakan bahasa verbal ke bahasa isyarat dan sebaliknya. Apalagi saya suka pekerjaan juru bahasa isyarat menurutku sangat menarik dan pasti memiliki wawasan luas tentang budaya dan bahasa.
Saya ingat ketika saya bertemu dengan beberapa orangtua dengar memiliki anak Tuli. Kami berngobrol tentang Tuli dan perkembangan anaknya. Mereka iri dengan saya karena saya dianggap telah sukses dan mampu berbicara oral dengan baik. Karena ini, mereka menginginkan anaknya memgikuti sepertiku tetapi saya merasa itu adalah sesuatu yang dipaksakan terutama pilihan komunikasi. Itu bukan hal yang saya inginkan. Yang saya inginkan adalah prestasi dan keberhasilan orang Tuli dijadikan sebagai role model atau panutan bukan mengikuti pilihan komunikasi. Pilihan komunikasi adalah kebebasan individu bukan keseragaman antar individu yang lain. Jadi, banyak orangtua selalu memaksakan anaknya untuk memilih pilihan komunikasi orang Tuli lain. Oleh sebab itu, saya bahkan hampir berdebat dengan mereka dan terkadang saya pernah membujuk mereka agar tidak melakukannya dan tidak menekannya pada anak Tuli itu. Tetapi, banyak orangtua memilih keputusan mereka sendiri. Jadi, ya saya hanya bisa menghormati mereka. Itu saja. Saya tidak pernah lagi membujuk atau merayu tetapi saya tetap akan mengingatkan mereka tentang dampak dan konsekuensi keputusannya terhadap anak Tuli di masa depan. Jika mereka bersedia menanggung hal ini, maka itu adalah pilihan mereka bukan saya. Saya hanya bisa berdoa dan berharap apapun keputusannya adalah terbaik untuk masa depan anak Tuli itu.
Jadi, kita harus mulai berjuang untuk mematahkan streotipe dan stigma negatif masih melekat di masyarakat. Kita harus aktif mengajarkan bahasa isyarat kepada adik-adik Tuli dan masyarakat dengar agar dapat memberi peluang untuk pengakuan bahasa isyarat sebagai bahasa resmi kedua untuk Tuli makin besar dan mendapatkan dukungan publik yang luas. Jika hal ini sukses, maka streotipe ini akan mulai hilang. Itu hal yang sangat diimpikan oleh komunitas Tuli.
Bahasa isyarat kami yang gunakan saat ini adalah bahasa isyarat Indonesia (BISINDO). BISINDO adalah bahasa dan budaya kami terlahir secara alamiah dan independen. Saya harap semua orang akan mengingatkan bahasa apa yang kami digunakan dan diajari.
Saya mendoakan terbaik untuk kalian dari aktivis, juru bahasa isyarat, guru, hingga masyarakat umum yang memperjuangkan hak Tuli dan pengakuan BISINDO sebagai bahasa resmi kedua setelah bahasa Indonesia untuk Tuli secara bersama-sama. Karena hanya bersama, akan membuat kami akan kuat dan selalu bersatu setiap waktu.
Terimakasih, semuanya.
Comments