Skip to main content

The Fourth Letter: Rasanya Sulit Menjadi Cina di Indonesia


Meski Presiden SBY sudah meresmikan penggantian nama Cina menjadi Tionghoa dan China menjadi Tiongkok, masyarakat Indonesia masih sering menggunakan istilah lama buatan Orba walaupun sebagian besar mulai menggunakan istilah baru dan tetapi ada pula menggunakan istilah asing, yaitu Chinese. Komunitas Tionghoa di Indonesia sendiri berbeda perspektif tentang istilah mereka. Ada memilih Cina, ada juga memilih Tionghoa, dan ada pula bersikap netral, yaitu Chinese. So, itu hanya pilihan mereka. Saya sendiri memilih Tionghoa karena sarat historis dan sebagai mengingat para pahlawan Tionghoa telah berjuang untuk Indonesia di zaman dahulu.

Kedatangan orang Tionghoa di Indonesia bertujuan dagang dan melakukan kegiatan perekonomian dengan orang-orang lokal. Orang Tionghoa pun berbaur dengan etnis lain tidak hanya urusan pekerjaan tetapi melebar urusan internal, yaitu pernikahan campuran. Orang Tionghoa telah menyumbangkan sumbangsih besar terhadap orang lokal di Indonesia. Budaya Tionghoa banyak diakulturasikan dengan budaya lokal. Hal ini menunjukkan orang Tionghoa benar-benar telah menjadi bagian Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu.

Akan tetapi, selalu tidak mudah untuk menjadi Cina hidup di Indonesia dimana masyarakat Indonesia masih saja tidak menghargai perjuangan etnis Tionghoa untuk Indonesia dan kurangnya untuk pengakuan adanya peran etnis Tionghoa untuk Indonesia. Tapi tidak semuanya. Orang Tionghoa di Indonesia seringkali dituduh sebagai pendukung komunis, pendukung negara leluhurnya (China), atheis, pengkhianat, kafir, dan duitan. Streotipe dan stigma ini kuat melekat pada masyarakat secara turun-menurun sehingga tidak mudah untuk menghilangkan sentimen anti Tionghoa apalagi para politis kini mulai memanfaatkan etnis Tionghoa sebagai alat politik demi ambisi politik tanpa memikirkan perasaan dan keselamatan komunitas Tionghoa.

Hal ini dapat disebut sinophobia artinya ketakutan berlebihan terhadap China dan para warga keturunan Tionghoa. Orang mengidap sinophobia cenderung akan berbuat rasisme dan diskriminasi terhadap komunitas Tionghoa. Mereka akan memboikot segala barang buatan China dan Tionghoa bahkan mengusir siapapun memiliki darah China keluar dari negaranya.

“Kau China. Pulang ke RRC (Republik Rakyat China)!. Jangan ke sini. Dasar sipit! Cina babi!”

Ini merupakan kalimat rasisme sering dilontarkan di dua dunia, yaitu dunia nyata maupun dunia maya. Ya, mereka sangat membencinya karena terpengaruh politik, pengalaman, kecemburuan sosial-ekonomi, dan juga terpengaruh oleh informasi yang salah bahkan ada pula media sengaja memancing sentimen anti Tionghoa melalui berita.

Saya sendiri sering bertemu beberapa orang mengaku membenci etnis Tionghoa karena pengalaman. Mereka mengatakan bahwa boss Tionghoa itu galak, pelit, suka kekerasan, dan suka marah apabila ada kesalahan diperbuat oleh mereka. Mereka memilih mundur karena tidak kuat dengan tekanan dan muak dengan perlakuan boss Tionghoa. Saya bisa memahami tetapi tidak patut apabila setelah mundur, mereka langsung menyalahkan dan membangkitkan sentimen anti Tionghoa ke mana-mana. Itu terlalu bersikap generalisasi bahwa kesimpulan mereka mengatakan bahwa semua orang Tionghoa akan bersikap demikian padahal itu salah dan tidak tepat karena tidak semua orang Tionghoa punya sikap yang sama. Saya selalu menyarankan mereka untuk intropeksi diri setelah mundur untuk mengetahui apakah ada salah atau tidaknya selama bekerja dan atau saya selalu menyuruh mereka untuk mencarikan tempat kerja senyaman mereka mungkin kalau tidak suka dengan boss Tionghoa, carilah boss non Tionghoa. Begitu saya selalu melakukannya sama.

Saya sendiri pernah dikatai “Cina” karena mataku dianggap mereka terlalu sipit dan kecil. Itu membuatku bingung karena saya merasa tidak pernah berbudaya Tionghoa sejak kecil kecuali merayakan Imlek termasuk tidak pernah berbicara bahasa Mandarin dan alek lainnya. Bahkan berbudaya Jawa pun saya tidak tahu dan saya juga tidak bisa berbicara bahasa Jawa. Jadi, saya bukan orang Jawa apalagi orang Tionghoa pun saya selalu bingung akan identitas diriku. Yang jelas hanyalah saya merasa orang Tuli karena saya berbudaya Tuli dan berbahasa isyarat. Suatu nanti, saya akan mengikuti test DNA untuk mengetahui asal usul saya secara keseluruhan. Bisa jadi saya Tionghoa, bisa jadi saya Jawa, Jerman, Jepang, dll. Semua hanya terjawab melalui test DNA.

Akan tetapi seiring perjalanan waktu, saya mulai bosan dengan ini meskipun secara mental saya masih baik-baik dan sudah biasa dengan kebencian seperti itu sudah menjadi santapan setiap hari. Saya sering gerah karena setiap hari harus mendengar berita tentang China dari investasi, TKA China, utang, dan semua selalu masuk bahan politik sehingga ada kemungkinan besar berdampak pada etnis Tionghoa termasuk saya sendiri.

Namun, tidak semua berita tentang China itu negatif dan ada juga berita tentang China yang positif ialah kerja keras pemerintah China sukses membangun RS khusus hanya 10 hari, perekonomian China semakin maju, bahasa Mandarin mulai banyak digunakan oleh negara lain di seluruh dunia, dan banyak sekali. Saya sendiri sudah tahu banyak tentang China tetapi hal ini seharusnya menjadi pelajaran bagi kami semua untuk mengakui keberhasilan pemerintah China dalam membangun negaranya dalam tempo singkat dan cepat.

Di Indonesia, saya rasa perlu ada orang Tionghoa berjuang untuk mengatasi sentimen anti Tionghoa. Kita patut berterimakasih pada Lim Se Ming atau Azmi Abu Bakar seorang pemuda Aceh mendirikan Museum Peranakan Tionghoa di Tangerang bertujuan memberi edukasi sejarah kepada masyarakat bahwa peran etnis Tionghoa terhadap Indonesia benar-benar ada dan nyata selama ini tidak pernah diajari di sekolah. Beliau beretnis Aceh peduli dan memberikan dukungan moril terhadap lebih dari 4 juta warga Indonesia keturunan Tionghoa. Dukungan ini patut diapresiasi. Saya merasa bangga bahwa masih ada orang bukan Tionghoa peduli terhadap etnis Tionghoa. Namun, saya merasa itu belumlah cukup dan masih berharap bahwa perlu banyak orang Tionghoa bekerja di non bisnis agar dapat menghilangkan sentimen anti Tionghoa dan tidak ada politis menjadikan etnis Tionghoa sebagai alat politik.

Sebagai orang Tionghoa lahir dan besar di Indonesia mesti berjuang bukan hanya hidup sendiri tetapi mesti berjuang untuk mengatasi sentimen anti Tionghoa dengan menunjukkan prestasi membanggakan dan mengharumkan nama bangsa tercinta, Indonesia agar masyarakat Indonesia akan memperlakuan etnis Tionghoa dengan setara, adil, dan sama. Tidak ada lagi orang berpikir bahwa etnis Tionghoa adalah China dan sudah mampu membedakan mana Tionghoa mana China dengan baik dan benar.

Kami selalu merasa Tionghoa sepenuhnya bukan China. Ya, Tionghoa bukan China. Saya juga berpendapat demikian.

JIA YOU!

Comments

Popular posts from this blog

SPECIAL LETTER: How It Is Important to Papua and Deaf-Black Community in Indonesia?

Papuan Island (West Papua and Papua) Papua, formerly Irian Jaya, is the largest and easternmost province of Indonesia, comprising most of Western New Guinea [1] . The province is located on the island of New Guinea. Its capital and largest city is Jayapura. The province has a large potential in natural resources, such as gold, nickel, petroleum, etc [2] . Papua has two different provinces, Papua and West Papua. West Papua, formerly Irian Jaya Barat or Irian Barat is a province of Indonesia. It covers the two western peninsulas of the island of New Guinea, Bird’s Head Peninsula, and Bomberai Peninsula, along with nearby islands. Manokwari is the province’s capital, while Sorong is its largest city [3] . Koteka (penis gourd) Papua has cultures, 264 regional languages, tribes, ethnicities, and traditions [1] . The famous tribes are Dani and Asmat tribes.  Dani tribe is located in West Papua and Asmat tribe is located in Papua. Besides, Papuan people also wear their traditional clothes...

Gloss, A Forgotten Learning Foreign Language and Translate

I was testing a student who stood up to share her short story in signs in our class. She was so good at signing despite sign language being the third language that she is learning and isn't a native speaker. She was confused about gloss or glosa in Indonesian. That's the thing that is most often forgotten when learning and translating a foreign language. Foreign language teachers almost never teach about gloss to students and yeah, I am sure some do and some do not.  The Gloss (Gr) means when a word is attached to a sign in simple terms. It refers to the way that ASL (American Sign Language) names signs in order to give a sense of the meanings behind them. A word or word that represents that sign does not signify its meaning in any way (source: What Are Glosses in Sign Language/  https://www.ilovelanguages.com/what-are-glosses-in-sign-language ). A gloss happens because it causes when a student who learns a second language but their mind that used to be a native language as bo...

I Am An Author Who You Known, I am Christian

" Take up the cross and follow me " Matthew 16: 24 If you are a loyal reader who has been reading since the first writing published in January 2020, I would like to announce that I have a fact that really needed to announce. Look at a title, that says I am Christian. Yep, I am Christian and am a follower of Christ. I have prepared some questions might you want to ask When was getting baptized? In December 2019 at GKI Gejayan, Yogyakarta. My baptized name is Malachi Raka. Where is the church usually you worship? English Worship, Yogyakarta. Why did you convert to Christianity? It’s a long story but that came to me who had been fighting for the truth and what makes me feel comfortable and to grow up who am myself. I converted because it’s my decision not because of a girlfriend, I do not have a girlfriend and am still single. After spending two years, I ended up finding Jesus Christ through coming to the church and started tearing up while listening to Christian songs. I really...