Meski Presiden SBY sudah meresmikan penggantian nama
Cina menjadi Tionghoa dan China menjadi Tiongkok, masyarakat Indonesia masih
sering menggunakan istilah lama buatan Orba walaupun sebagian besar mulai
menggunakan istilah baru dan tetapi ada pula menggunakan istilah asing, yaitu
Chinese. Komunitas Tionghoa di Indonesia sendiri berbeda perspektif tentang
istilah mereka. Ada memilih Cina, ada juga memilih Tionghoa, dan ada pula
bersikap netral, yaitu Chinese. So, itu hanya pilihan mereka. Saya sendiri
memilih Tionghoa karena sarat historis dan sebagai mengingat para pahlawan
Tionghoa telah berjuang untuk Indonesia di zaman dahulu.
Kedatangan orang Tionghoa di Indonesia bertujuan
dagang dan melakukan kegiatan perekonomian dengan orang-orang lokal. Orang
Tionghoa pun berbaur dengan etnis lain tidak hanya urusan pekerjaan tetapi
melebar urusan internal, yaitu pernikahan campuran. Orang Tionghoa telah
menyumbangkan sumbangsih besar terhadap orang lokal di Indonesia. Budaya Tionghoa
banyak diakulturasikan dengan budaya lokal. Hal ini menunjukkan orang Tionghoa
benar-benar telah menjadi bagian Indonesia sejak ratusan tahun yang lalu.
Akan tetapi, selalu tidak mudah untuk menjadi Cina
hidup di Indonesia dimana masyarakat Indonesia masih saja tidak menghargai
perjuangan etnis Tionghoa untuk Indonesia dan kurangnya untuk pengakuan adanya
peran etnis Tionghoa untuk Indonesia. Tapi tidak semuanya. Orang Tionghoa di
Indonesia seringkali dituduh sebagai pendukung komunis, pendukung negara
leluhurnya (China), atheis, pengkhianat, kafir, dan duitan. Streotipe dan
stigma ini kuat melekat pada masyarakat secara turun-menurun sehingga tidak
mudah untuk menghilangkan sentimen anti Tionghoa apalagi para politis kini mulai
memanfaatkan etnis Tionghoa sebagai alat politik demi ambisi politik tanpa memikirkan perasaan dan keselamatan komunitas Tionghoa.
Hal ini dapat disebut sinophobia artinya ketakutan
berlebihan terhadap China dan para warga keturunan Tionghoa. Orang mengidap
sinophobia cenderung akan berbuat rasisme dan diskriminasi terhadap komunitas
Tionghoa. Mereka akan memboikot segala barang buatan China dan Tionghoa bahkan mengusir siapapun memiliki darah China keluar dari negaranya.
“Kau China. Pulang ke RRC (Republik Rakyat China)!. Jangan ke sini. Dasar
sipit! Cina babi!”
Ini merupakan kalimat rasisme sering dilontarkan di
dua dunia, yaitu dunia nyata maupun dunia maya. Ya, mereka sangat membencinya
karena terpengaruh politik, pengalaman, kecemburuan sosial-ekonomi, dan juga
terpengaruh oleh informasi yang salah bahkan ada pula media sengaja memancing
sentimen anti Tionghoa melalui berita.
Saya sendiri sering bertemu beberapa orang mengaku membenci
etnis Tionghoa karena pengalaman. Mereka mengatakan bahwa boss Tionghoa itu
galak, pelit, suka kekerasan, dan suka marah apabila ada kesalahan diperbuat
oleh mereka. Mereka memilih mundur karena tidak kuat dengan tekanan dan muak
dengan perlakuan boss Tionghoa. Saya bisa memahami tetapi tidak patut apabila
setelah mundur, mereka langsung menyalahkan dan membangkitkan sentimen anti
Tionghoa ke mana-mana. Itu terlalu bersikap generalisasi bahwa kesimpulan
mereka mengatakan bahwa semua orang Tionghoa akan bersikap demikian padahal itu
salah dan tidak tepat karena tidak semua orang Tionghoa punya sikap yang sama.
Saya selalu menyarankan mereka untuk intropeksi diri setelah mundur untuk
mengetahui apakah ada salah atau tidaknya selama bekerja dan atau saya selalu
menyuruh mereka untuk mencarikan tempat kerja senyaman mereka mungkin kalau
tidak suka dengan boss Tionghoa, carilah boss non Tionghoa. Begitu saya selalu
melakukannya sama.
Saya sendiri pernah dikatai “Cina” karena mataku
dianggap mereka terlalu sipit dan kecil. Itu membuatku bingung karena saya
merasa tidak pernah berbudaya Tionghoa sejak kecil kecuali merayakan Imlek
termasuk tidak pernah berbicara bahasa Mandarin dan alek lainnya. Bahkan
berbudaya Jawa pun saya tidak tahu dan saya juga tidak bisa berbicara bahasa
Jawa. Jadi, saya bukan orang Jawa apalagi orang Tionghoa pun saya selalu
bingung akan identitas diriku. Yang jelas hanyalah saya merasa orang Tuli
karena saya berbudaya Tuli dan berbahasa isyarat. Suatu nanti, saya akan
mengikuti test DNA untuk mengetahui asal usul saya secara keseluruhan. Bisa
jadi saya Tionghoa, bisa jadi saya Jawa, Jerman, Jepang, dll. Semua hanya
terjawab melalui test DNA.
Akan tetapi seiring perjalanan waktu, saya mulai bosan
dengan ini meskipun secara mental saya masih baik-baik dan sudah biasa dengan
kebencian seperti itu sudah menjadi santapan setiap hari. Saya sering gerah
karena setiap hari harus mendengar berita tentang China dari investasi, TKA
China, utang, dan semua selalu masuk bahan politik sehingga ada kemungkinan
besar berdampak pada etnis Tionghoa termasuk saya sendiri.
Namun, tidak semua berita tentang China itu negatif
dan ada juga berita tentang China yang positif ialah kerja keras pemerintah
China sukses membangun RS khusus hanya 10 hari, perekonomian China semakin
maju, bahasa Mandarin mulai banyak digunakan oleh negara lain di seluruh dunia,
dan banyak sekali. Saya sendiri sudah tahu banyak tentang China tetapi hal ini
seharusnya menjadi pelajaran bagi kami semua untuk mengakui keberhasilan
pemerintah China dalam membangun negaranya dalam tempo singkat dan cepat.
Di Indonesia, saya rasa perlu ada orang Tionghoa berjuang untuk
mengatasi sentimen anti Tionghoa. Kita patut berterimakasih pada Lim Se Ming
atau Azmi Abu Bakar seorang pemuda Aceh mendirikan Museum Peranakan Tionghoa di
Tangerang bertujuan memberi edukasi sejarah kepada masyarakat bahwa peran etnis
Tionghoa terhadap Indonesia benar-benar ada dan nyata selama ini tidak pernah
diajari di sekolah. Beliau beretnis Aceh peduli dan memberikan dukungan moril terhadap
lebih dari 4 juta warga Indonesia keturunan Tionghoa. Dukungan ini patut
diapresiasi. Saya merasa bangga bahwa masih ada orang bukan Tionghoa peduli
terhadap etnis Tionghoa. Namun, saya merasa itu belumlah cukup dan masih
berharap bahwa perlu banyak orang Tionghoa bekerja di non bisnis agar dapat
menghilangkan sentimen anti Tionghoa dan tidak ada politis menjadikan etnis
Tionghoa sebagai alat politik.
Sebagai orang Tionghoa lahir dan besar di Indonesia
mesti berjuang bukan hanya hidup sendiri tetapi mesti berjuang untuk mengatasi
sentimen anti Tionghoa dengan menunjukkan prestasi membanggakan dan
mengharumkan nama bangsa tercinta, Indonesia agar masyarakat Indonesia akan
memperlakuan etnis Tionghoa dengan setara, adil, dan sama. Tidak ada lagi orang
berpikir bahwa etnis Tionghoa adalah China dan sudah mampu membedakan mana
Tionghoa mana China dengan baik dan benar.
Kami selalu merasa Tionghoa sepenuhnya bukan China.
Ya, Tionghoa bukan China. Saya juga berpendapat demikian.
JIA YOU!
Comments