Pada pukul 17.30, saya pergi ke kampung Ketandan (中华村, zhong hua cun) untuk menikmati Festival Imlek digelar pada tanggal 2-8 Februaru 2020. Saya telah berkunjung ke Museum Tan Djin Sing, seorang bupati Yogyakarta pertama berasal dari etnis Tionghoa, food park, pertunjukan, hingga ada beberapa budaya Tionghoa diperkenalkan lebih luas. Faktanya semua masih merasakan suasana sangat Tionghoa meski tidak banyak berbicara bahasa Mandarin.
Ini hanya sedikit cerita yang mengesankan kemarin, sekarang saya
mau memulai dari hal dasar yang harus kalian ketahui sebelum menyelami lebih
dalam tentang studi ketionghoaan. Kita akan mulai dari "Cina, Tionghoa,
dan Tiongkok" berdasarkan berbagai referensi yang sudah ada tetapi diambil
dari saya.
-------
Istilah "Tionghoa" pertama kali muncul pada zaman pra
kemerdekaan Indonesia melalui terbitnya koran Sin Po (新报, xin bao). Koran Sin Po merupakan koran terbitan pada tanggal 1 Oktober
1910 oleh komunitas Tionghoa. Koran ini memegang peranan penting, yaitu berani
menerbitkan lagu Indonesia Raya dan mengganti “Hindia Belanda” menjadi
“Indonesia”. Koran bumiputera pun mengikuti jejaknya, yaitu mengganti “Tjina”
menjadi “Tionghoa” serta menamakan Tiongkok sebagai nama negara.
Istilah Tionghoa sendiri berasal dari bahasa Hokkien, yaitu Chung Hwa.
Sedangkan dalam bahasa Mandarin 中桦 dibaca zhong hua, yang berarti
bangsa-bangsa di negeri Tiongkok. Artinya Tionghoa sebagai suku dan bangsa bukan negara. Sedangkan Tiongkok (中国, zhong
guo) sebagai negara.
Istilah Tionghoa ini terus dipakai sampai tahun 1967 dimana era Orde
Baru pun dimulai. Presiden Soeharto melakukan berbagai kebijakan diskriminatif
secara sistematis dan terstruktur yang mengarah pada kelompok minioritas etnis
Tionghoa. Kala itu, orang Tionghoa dibatasi ruang publik dan tidak boleh
bergerak di ruang bebas. Deretan kebijakan diskriminatif pada era Orba, sebagai
berikut:
1. Penerapan SBKRI (Surat Bukti Kewarganegaraan Republik
Indonesia) untuk keperluan paspor, KTP, SIM, STNK, dan surat penting lainnya.
SBKRI ini ditujukan kepada etnis pendatang, yaitu Tionghoa, Arab, dan India
tetapi Tionghoa menjadi kasus paling disorot. SBKRI berisi penggantian nama
Tionghoa menjadi nama Indonesia. Apabila tidak mau mengganti nama, maka
bersangkutan tidak akan mendapatkan SBKRI dan statusnya sebagai warga statesless
(tanpa kewarganegaraan atau dianggap WNA tanpa peduli dia lahir dan besar di
Indonesia).
2. Pelarangan bahasa Mandarin dan budaya Tionghoa di
ruang terbuka. Seluruh orang Tionghoa diwajibkan berbicara bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional
3. Perayaan Imlek dibatasi dan hanya boleh dirayakan di
rumah
4. Sekolah-sekolah Tionghoa ditutup oleh pemerintah dan
siswa-siswi Tionghoa dipindahkan ke sekolah negeri atau sekolah swasta
5. Orang Tionghoa tidak diperbolehkan bekerja sebagai
tentara, polisi, dan instansi pemerintah. Artinya orang Tionghoa hanya boleh
bekerja di bidang bisnis dan ekonomi, yaitu menjadi pedagang atau pebisnis
Penyebab kebijakan tersebut yang diterapkan pada era Orba, sebagai
berikut:
1. Orang Tionghoa dituduh pro PKI dan pro RRT (Republik
Rakyat Tiongkok sebagai negara komunis
2. Adanya kesenjangan ekonomi, sosial, dan politik
Hal ini merupakan salah satu bagian upaya asimilasi yang diselenggarakan
oleh pemerintah Orba terhadap etnis pendatang bertujuan etnis pendatang dapat
mengintegrasikan sikap nasionalisme melalui deretan kebijakan tersebut.
Pada tanggal 25-31 Agustus 1966, istilah Tionghoa pun diganti menjadi
“Cina” melalui seminar Angkatan Darat Republik Indonesia di Bandung untuk
membedakan etnis dan ras sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara historis
dan sisiologis. Istilah tersebut terus dipertahankan sampai tahun 2014.
Orba merupakan masa-masa yang paling kelam bagi warga keturunan Tionghoa
dan mereka hidup di bawah tekanan diskriminasi dan rasisme anti Tionghoa bebas
berkeliaran dimana-mana. Birokrasi bagi warga Tionghoa seringkali dipersulitkan
hanya karena berbeda ras dan etnis. Satu-satunya jalan yang dapat membuat
mereka hidup dengan nyaman, ialah bisnis. Tetapi, ada juga orang Tionghoa
terjun di bidang olahraga salah satu bulutangkis. Pada era Orba, tim bulutangkis Indonesia didominasi
oleh etnis Tionghoa sering sukses menjuarai berbagai turnamen dan mengharumkan
nama Indonesia di kancah internasional. Ibarat orang berkulit hitam Amerika
melawan diksriminasi dan rasisme melalui basket, begitu juga orang Tionghoa
melawannya melalui bulutangkis.
Pada tahun 2014, Presiden SBY resmi menekan Keppres tentang penggantian
“Cina” menjadi “Tionghoa” sedangkan “Republik Rakyat China (RRC)” menjadi
“Republik Rakyat Tiongkok (RRT)”. Kebijakan tersebut berpihak pada komunitas
Tionghoa dan salah satu bagian upaya menghilangkan sentiment anti China dan
anti Tionghoa. Hal ini juga semakin menegaskan bahwa identitas mereka adalah
bagian Indonesia berdasarkan historis dan sosiologis. Penyebutan “Cina”
bermakna negatif dan dianggap menghina terhadap komunitas mereka sehingga
penggunaan istilah “Tionghoa” dianggap dapat diterima oleh komunitas tersebut.
Akan tetapi, pada seiring perjalanan waktu masih banyak menyebut “Cina”
baik melalui media maupun non media. Orang Tionghoa mengaku tidak masalah jika
dipanggil “Cina” tetapi ada juga mengaku tidak nyaman jika dipanggil “Cina”.
Ini semua pilihan mereka masing-masing baik penyebutan “Cina” dan “Tionghoa”
didasarkan alasan masing-masing.
Dan kembali ke identitas mereka, mereka punya kebebasan untuk memilih “Cina”
atau “Tionghoa” tetapi dalam pers media seharusnya lebih sering menggunakan istilah
“Tionghoa”. Saya sendiri nyaman istilah “Tionghoa” karena istilah tersebut
menitikberatkan pada memori perjuangan bangsa Tionghoa yang cinta pada
Indonesia dan pengorbanan besar etnis Tionghoa terhadap negara yang tercinta,
Indonesia. Saya harus menghormati dan menghargai jasa-jasa para pahalwan
Tionghoa yang rela berkorban diri demi kemerdekaan Indonesia. Begini alasan
saya memilih “Tionghoa” ketimbang “Cina”.
Panggil kami Tionghoa bukan China, karena kami Indonesia.
我是印度尼西亚人,不中国人。 加油印度尼西亚华人!
Sumber:
Keputusan Presiden Nomer 12 Tahun 2014 Tentang Penggantian Istilah Cina
Menjadi Tionghoa dan China Menjadi Tiongkok (https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/174034/KEPPRES122014.pdf)
Charles
Coppel, Studying Ethnic Chinese in Indonesia (Singapore:
Singapore Society of Asian Studies, 2002): 24
Sumber
Gambar:
Wikimedia
Commons/Chinese and Indonesians are stand together, Impression of the Fight in
Indonesia.
Comments